Kita semua tentu belajar dr pengalaman. Bahkan yg udah expert atau level mastah sekalipun masih bisa kepeleset (dan itu berlaku di bidang apapun, tidak terkecuali bidang spiritual/religius dan juga romansa/lope-lope).
We all know kalo semua hal yang bersifat "belonging" pasti berujung penderitaan, mau dapet apalagi kalo sampe gak dapet. But, kita masih ngelakuin bahkan meski semua kitab suci udah hafal sekalipun.
Jadi apakah rasa "melepas" hanya utk para suci, para bijak atau para tercerahkan? rasanya gak perlu sampe level bijak atau suci utk mulai praktek itu. Mulai dgn hal paling simple, saat melakukan kebaikan, mulai lepaskan kebutuhan akan terima kasih apalagi pujian atau bahkan dikenal seseorang, jd mengurangi penderitaan saat gak ada yang tau kebaikan kita apalagi kenal kita.
Mulai belajar paham bahwa saat sayang sama seseorang, ia pun punya hak untuk menolak atau menerima (perasaan) cinta kita sebagaimana kita juga punya hak terima atau menolak orang yang ingin menjalin hubungan khusus dengan kita. Karena rasa "belonging" apalagi sampe level deep, bisa memberikan penderitaan saat dapet (cemburu lebay yg menyusahkan bukan hanya diri sendiri tapi juga orang yang kita sayang) apalagi kalo sampe gak dapet, bisa lebih hancur badai lagi, karena jatuh dari atas meja udah jelas masih lebih mending drpd rasa sakit kalo smp jatuh dr lantai 3, hahahahah....:D
Sama halnya dengan living "under spotlight" atau "being invisible". sama skali gak ada yg salah diantara kedua pilihan, karena semuanya punya plus minusnya masing-masing. menjadi populer sudah jelas banyak membantu, karena bisa jd role model, inspirasi bagi banyak orang. Menggalang dana atau bantuan juga relatif lebih mudah karena dikenal dan dipercaya banyak pihak. Namun di sisi lain, semua akan ada masanya, saat roda harus berputar ke bawah dan "out of spotlight" kalo gak siap bs terpuruk bahkan hancur krn dinikmatin tapi kurang disadarin, akhirnya kita ditelan habis bahkan musnah justru oleh cahaya kita sendiri.
Sebaliknya, sang invisible, minusnya adalah, mungkin tak bisa terlalu maksimal dalam menjadi role model bagi area publik yang lebih banyak (juga saat menggalang area kebajikan yang lebih luas karena namanya yang relatif gak dikenal), namun setidaknya ia bisa menginspirasi lingkungan kecil skitarnya. Dan karena sifatnya yang invisible, ia relatif gak terkena post power syndrome (sperti sang bintang), karena emang dari awal ia hanya bekerja ukt kebaikan itu sendiri dan bukan untuk tujuan lain apalagi ingin pamrih dan pujian.
Demikianlah dalam berkeluarga. terlalu belonging sama keluarga jg bisa menderitakan diri sendiri bahkan sama orang yg kita sayang. Terlalu disayang dlm arti ketat anak bs depresi; terlalu disayang dlm arti dimanja penuh bisa membuat anak tersebut tumbuh penuh ego dan tanpa empati sekaligus gak punya daya juang dan akhirnya malah menyusahkan hidup anak itu sendiri krn hidup gak semudah permintaan anak yg lsg dikabulkan ortunya. Demikian jg saat mereka tiada (krn sifat hidup yg gak pasti dan gak harus ortu dulu yang tiada), pihak ortu bisa depresi padahal banyak anak yang membutuhkan bantuan dan bisa kita sayangi bagai anak kita sendiri. Selain lebih dari mampu mengurangi kesedihan juga menambah kebajikan baru dan juga berkah kebahagiaan baru bagi banyak pihak. Tapi tolong ingat ya, hanya anak orang lain bisa kita anggap bagai anak kita sendiri, dan jangan sampai suami-istri orang lain kita anggap bagai suami-istri kita (hihihi.....:p)
Seperti kata pesan bijak yg pernah saya dengar bahwa gak perlu melakukan hal-hal besar untuk menjadi orang besar, cukup lakukan hal-hal sederhana tapi rutin, konsisten, penuh komitmen sekaligus penuh cinta dalam setiap langkahnya, karena ombak besar pun berasal dr kumpulan riak kecil kan :D
Jadi tak perlu sampe level suci hobah-hobah atau wajib jd guru bijak terlebih dahulu utk smp level pencerahan kecil bernama MELEPAS ini. Cukup langkah kecil sederhana setiap saat yg dibalut semangat cinta. Sehingga lumayan mengurangi polusi baper dan menambah spirit move on dan sukacita sekaligus menambah banyak orang baik yang juga bahagia.
May all beings happy
Always with love
Wedy _/\_ :D
We all know kalo semua hal yang bersifat "belonging" pasti berujung penderitaan, mau dapet apalagi kalo sampe gak dapet. But, kita masih ngelakuin bahkan meski semua kitab suci udah hafal sekalipun.
Jadi apakah rasa "melepas" hanya utk para suci, para bijak atau para tercerahkan? rasanya gak perlu sampe level bijak atau suci utk mulai praktek itu. Mulai dgn hal paling simple, saat melakukan kebaikan, mulai lepaskan kebutuhan akan terima kasih apalagi pujian atau bahkan dikenal seseorang, jd mengurangi penderitaan saat gak ada yang tau kebaikan kita apalagi kenal kita.
Mulai belajar paham bahwa saat sayang sama seseorang, ia pun punya hak untuk menolak atau menerima (perasaan) cinta kita sebagaimana kita juga punya hak terima atau menolak orang yang ingin menjalin hubungan khusus dengan kita. Karena rasa "belonging" apalagi sampe level deep, bisa memberikan penderitaan saat dapet (cemburu lebay yg menyusahkan bukan hanya diri sendiri tapi juga orang yang kita sayang) apalagi kalo sampe gak dapet, bisa lebih hancur badai lagi, karena jatuh dari atas meja udah jelas masih lebih mending drpd rasa sakit kalo smp jatuh dr lantai 3, hahahahah....:D
Sama halnya dengan living "under spotlight" atau "being invisible". sama skali gak ada yg salah diantara kedua pilihan, karena semuanya punya plus minusnya masing-masing. menjadi populer sudah jelas banyak membantu, karena bisa jd role model, inspirasi bagi banyak orang. Menggalang dana atau bantuan juga relatif lebih mudah karena dikenal dan dipercaya banyak pihak. Namun di sisi lain, semua akan ada masanya, saat roda harus berputar ke bawah dan "out of spotlight" kalo gak siap bs terpuruk bahkan hancur krn dinikmatin tapi kurang disadarin, akhirnya kita ditelan habis bahkan musnah justru oleh cahaya kita sendiri.
Sebaliknya, sang invisible, minusnya adalah, mungkin tak bisa terlalu maksimal dalam menjadi role model bagi area publik yang lebih banyak (juga saat menggalang area kebajikan yang lebih luas karena namanya yang relatif gak dikenal), namun setidaknya ia bisa menginspirasi lingkungan kecil skitarnya. Dan karena sifatnya yang invisible, ia relatif gak terkena post power syndrome (sperti sang bintang), karena emang dari awal ia hanya bekerja ukt kebaikan itu sendiri dan bukan untuk tujuan lain apalagi ingin pamrih dan pujian.
Demikianlah dalam berkeluarga. terlalu belonging sama keluarga jg bisa menderitakan diri sendiri bahkan sama orang yg kita sayang. Terlalu disayang dlm arti ketat anak bs depresi; terlalu disayang dlm arti dimanja penuh bisa membuat anak tersebut tumbuh penuh ego dan tanpa empati sekaligus gak punya daya juang dan akhirnya malah menyusahkan hidup anak itu sendiri krn hidup gak semudah permintaan anak yg lsg dikabulkan ortunya. Demikian jg saat mereka tiada (krn sifat hidup yg gak pasti dan gak harus ortu dulu yang tiada), pihak ortu bisa depresi padahal banyak anak yang membutuhkan bantuan dan bisa kita sayangi bagai anak kita sendiri. Selain lebih dari mampu mengurangi kesedihan juga menambah kebajikan baru dan juga berkah kebahagiaan baru bagi banyak pihak. Tapi tolong ingat ya, hanya anak orang lain bisa kita anggap bagai anak kita sendiri, dan jangan sampai suami-istri orang lain kita anggap bagai suami-istri kita (hihihi.....:p)
Seperti kata pesan bijak yg pernah saya dengar bahwa gak perlu melakukan hal-hal besar untuk menjadi orang besar, cukup lakukan hal-hal sederhana tapi rutin, konsisten, penuh komitmen sekaligus penuh cinta dalam setiap langkahnya, karena ombak besar pun berasal dr kumpulan riak kecil kan :D
Jadi tak perlu sampe level suci hobah-hobah atau wajib jd guru bijak terlebih dahulu utk smp level pencerahan kecil bernama MELEPAS ini. Cukup langkah kecil sederhana setiap saat yg dibalut semangat cinta. Sehingga lumayan mengurangi polusi baper dan menambah spirit move on dan sukacita sekaligus menambah banyak orang baik yang juga bahagia.
May all beings happy
Always with love
Wedy _/\_ :D
Komentar
Posting Komentar