Siapa yang gak pengen sih kisah cintanya seindah kisah-kisah dongeng, yang begitu indah juga membius :D
Meski kita kadang gak waspada kalo sebenarnya PERNIKAHAN itu baru awal perjalanan romansa yang sesungguhnya, namun udah terlanjur terhipnotis pesan "and they happily ever after", hihihi...:p
Pangeran tampan tajir melintir dengan kebaikan hati yg bikin melipir bersanding indah dengan putri yg selalu digambarkan elegan mempesona bagai malaikat surgawi meski dr kalangan manapun (mulai dr cinderella hingga sleeping beauty, belum lg romansa ala drama korea).
Dunia memang panggung sandiwara, tapi sayangnya SIFAT HIDUP YANG TAK PASTI & SULIT DIDUGA membuat kisah dongeng yang terskenario (dan ujungnya kadang sudah tahu, tapi kita tetap bersedia menontonnya bagai film tema superhero yg sudah ketahuan endingnya apa tapi tetap aja membuat kita kecanduan karena hal sederhana, ALAM BAWAH SADAR KITA PENGEN BANGET POPULER & JUGA BAHAGIA) sulit diterjemahkan dalam realitas dunia nyata.
Nah efeknya adalah, antara MENUNGGU sang pangeran/putri entah sampai kapan atau SIBUK MEMBANDINGKAN kisah atau pasangannya dengan kisah dongeng/drama korea tadi, dan akhirnya meski Sudah banyak pangeran/putri baik antri melamar, tetap saja sibuk MENUNGGU, sementara yang sudah menjalani pernikahan, meski pasangannya meski sudah baik maksimal level stadium akhir sekalipun, tetap saja sulit bahagia, karena ia sibuk MEMBANDINGKAN dengan ukuran kebahagiaan versi dongeng atau film romantis tadi.
Well, disampaikan bahwa idealnya CINTA ADALAH SENI TENTANG MEMBERI. Sebagaimana diuraikan dalam beragam jalan kebijaksanaan, oleh para guru agung, bahwa kebahagiaan dlm hidup adalah saat mampu memberi tanpa syarat dan tanpa pamrih. Maka bila cinta adalah seni tentang memberi, maka seharusnya ia memang benar2x diberikan tanpa syarat apapun. Sehingga kondisi apapun yg kebetulan hadir dalam hidup kita seharusnya tidak perlu ada perhitungan apapun lagi karena sudah tanpa syarat.
Relasi hari ini, menjadi komplikasi karena banyaknya syarat yg begitu banyak harus dituntut kepada orang lain, sementara diri sendiri juga gak memiliki syarat yg diajukan, maka secara hukum penerimaan dan pemasukan, jurnalnya gak seimbang, hahahhahahaha....:D
Mengurangi ekspetasi bahkan mengosongkan standar adalah salah 1 usaha untuk menghentikan kebiasaan MENUNGGU & MEMBANDINGKAN. Hati yang sejernih gelas kosong akan lebih mudah memahami bahwa selain diri ini SAMA TIDAK SEMPURNANYA dengan orang lain, juga sifat orang bisa berubah (entah lebih bagus atau bahkan bisa lebih buruk) demikian pula kondisi hidup juga sangat-sangat tidak pasti (segar bugar bisa lumpuh, maut datang tak terduga bahkan kantong paman gober bisa jadi kantong paman an cit kong dr partai (pengemis) kaypang bukan dalam hitungan tahun karena kadang bisa hitungan hari, hihihi...:p).
Benarlah pesan para bijaksana, bahwa yg perlu dipermak adalah murni diri kita sendiri, dan sama sekali bukan orang lain. Sebagaimana Guru Brahm pernah mengingatkan kita semua, "pernikahan mau bahagia, mulailah belajar untuk menuntut diri sendiri agar mampu untuk selalu memahami orang lain/pasangan kita. Sementara bila ingin pernikahan tidak bahagia, mulailah untuk selalu menuntut orang lain/pasangan kita agar mengerti kita". Karena pada akhirnya bahagia itu di dalam sini dan bukan di luar sana.
Cinta juga adalah tentang teamwork (kerjasama), karena tidak ada tepukan yg berbunyi bila hanya dilakukan sebelah tangan. Demikian bila ingin "happily ever after", keduanya wajib bekerjasama untuk saling menaklukkan (ego) dirinya sendiri masing masing, dan bukan satu sibuk menuntut sementara yg lainnya berusaha untuk mengerti.
Dan untuk mewujudkan itu semua, TANPA SYARAT adalah langkah awalnya. Tak perlu juga sibuk meniru kisah cinta orang lain, karena kita bukan mereka dan mereka juga bukan kita. Meski nanti kisah cinta kita takkan pernah seindah dongeng, namun setidaknya bahagianya nyata dan bukan khayalan.
May us happily ever after
Salam romansa _/\_
Wedy :D
Meski kita kadang gak waspada kalo sebenarnya PERNIKAHAN itu baru awal perjalanan romansa yang sesungguhnya, namun udah terlanjur terhipnotis pesan "and they happily ever after", hihihi...:p
Pangeran tampan tajir melintir dengan kebaikan hati yg bikin melipir bersanding indah dengan putri yg selalu digambarkan elegan mempesona bagai malaikat surgawi meski dr kalangan manapun (mulai dr cinderella hingga sleeping beauty, belum lg romansa ala drama korea).
Dunia memang panggung sandiwara, tapi sayangnya SIFAT HIDUP YANG TAK PASTI & SULIT DIDUGA membuat kisah dongeng yang terskenario (dan ujungnya kadang sudah tahu, tapi kita tetap bersedia menontonnya bagai film tema superhero yg sudah ketahuan endingnya apa tapi tetap aja membuat kita kecanduan karena hal sederhana, ALAM BAWAH SADAR KITA PENGEN BANGET POPULER & JUGA BAHAGIA) sulit diterjemahkan dalam realitas dunia nyata.
Nah efeknya adalah, antara MENUNGGU sang pangeran/putri entah sampai kapan atau SIBUK MEMBANDINGKAN kisah atau pasangannya dengan kisah dongeng/drama korea tadi, dan akhirnya meski Sudah banyak pangeran/putri baik antri melamar, tetap saja sibuk MENUNGGU, sementara yang sudah menjalani pernikahan, meski pasangannya meski sudah baik maksimal level stadium akhir sekalipun, tetap saja sulit bahagia, karena ia sibuk MEMBANDINGKAN dengan ukuran kebahagiaan versi dongeng atau film romantis tadi.
Well, disampaikan bahwa idealnya CINTA ADALAH SENI TENTANG MEMBERI. Sebagaimana diuraikan dalam beragam jalan kebijaksanaan, oleh para guru agung, bahwa kebahagiaan dlm hidup adalah saat mampu memberi tanpa syarat dan tanpa pamrih. Maka bila cinta adalah seni tentang memberi, maka seharusnya ia memang benar2x diberikan tanpa syarat apapun. Sehingga kondisi apapun yg kebetulan hadir dalam hidup kita seharusnya tidak perlu ada perhitungan apapun lagi karena sudah tanpa syarat.
Relasi hari ini, menjadi komplikasi karena banyaknya syarat yg begitu banyak harus dituntut kepada orang lain, sementara diri sendiri juga gak memiliki syarat yg diajukan, maka secara hukum penerimaan dan pemasukan, jurnalnya gak seimbang, hahahhahahaha....:D
Mengurangi ekspetasi bahkan mengosongkan standar adalah salah 1 usaha untuk menghentikan kebiasaan MENUNGGU & MEMBANDINGKAN. Hati yang sejernih gelas kosong akan lebih mudah memahami bahwa selain diri ini SAMA TIDAK SEMPURNANYA dengan orang lain, juga sifat orang bisa berubah (entah lebih bagus atau bahkan bisa lebih buruk) demikian pula kondisi hidup juga sangat-sangat tidak pasti (segar bugar bisa lumpuh, maut datang tak terduga bahkan kantong paman gober bisa jadi kantong paman an cit kong dr partai (pengemis) kaypang bukan dalam hitungan tahun karena kadang bisa hitungan hari, hihihi...:p).
Benarlah pesan para bijaksana, bahwa yg perlu dipermak adalah murni diri kita sendiri, dan sama sekali bukan orang lain. Sebagaimana Guru Brahm pernah mengingatkan kita semua, "pernikahan mau bahagia, mulailah belajar untuk menuntut diri sendiri agar mampu untuk selalu memahami orang lain/pasangan kita. Sementara bila ingin pernikahan tidak bahagia, mulailah untuk selalu menuntut orang lain/pasangan kita agar mengerti kita". Karena pada akhirnya bahagia itu di dalam sini dan bukan di luar sana.
Cinta juga adalah tentang teamwork (kerjasama), karena tidak ada tepukan yg berbunyi bila hanya dilakukan sebelah tangan. Demikian bila ingin "happily ever after", keduanya wajib bekerjasama untuk saling menaklukkan (ego) dirinya sendiri masing masing, dan bukan satu sibuk menuntut sementara yg lainnya berusaha untuk mengerti.
Dan untuk mewujudkan itu semua, TANPA SYARAT adalah langkah awalnya. Tak perlu juga sibuk meniru kisah cinta orang lain, karena kita bukan mereka dan mereka juga bukan kita. Meski nanti kisah cinta kita takkan pernah seindah dongeng, namun setidaknya bahagianya nyata dan bukan khayalan.
May us happily ever after
Salam romansa _/\_
Wedy :D
Komentar
Posting Komentar