Bila Yang Di Luar Tak Mampu Terlihat, Cobalah Agar Yang Di Dalam Bisa Terlihat
Ini hanya logika yang sederhana bahkan amat sangat sederhana, bahwa yang kebetulan menarik secara visual saja belum tentu ada jaminan bisa menjadi magnet dalam menemukan partner hidup, bagaimana bila kebetulan tidak memiliki sisi ini (plus "disempurnakan" dengan karakter villain pula)?
Seriusan bahwa fakta di lapangan seringkali berjumpa yang punya bonus visual malah ramah dan rendah hati sementara yang kebetulan minus visual malah justru memilih untuk negatif dengan beragam alasan. Mulai dengan alasan "pride and self confidence" yang sayangnya seringkali kurang pada tempatnya (karena PD dan sombong memang beda sangat tipis), sampai merendahkan tampilan visual orang lain sementara lupa dan juga gak waspada bahwa dirinya tidak lebih baik. Hal yang mungkin akan berbeda bila kebetulan dilakukan oleh yang punya bonus tampilan visual, meski itu juga tidak pantas dilakukan juga, namun setidaknya ada sesuatu yang memang bisa disombongkan, sementara dari yang kebetulan tidak memiliki citra atau pesona visual, lalu apa yang mau ditonjolkan apalagi disombongkan. Dan ujungnya malah menambah penderitaan pribadi, karena publik yang gak nyaman dan akhirnya malah mensupport dengan doa yang makin enggak2x hingga akhirnya yang paling rugi ya kita sendiri.
Intinya, tampilan visual memang bukan menu utama karena suatu saat akan melapuk juga seiring usia, sebab serupawan apapun kita semuanya akan kehilangan keindahannya saat usia tua tiba. Namun bila yang baik saja sulit menemukan pasangan hidup kalau dalamnya tidak indah, apalagi yang sudah tidak baik secara visual, masih ditambah buruk hati pula.
Benci sama dengan Benar-Benar Cinta
Dalam banyak kasus psikologis, saat kita membenci sesuatu atau seseorang, sesungguhnya HAL ITU yang sesungguhnya paling kita rindukan. Contohnya: saat kita begitu membenci salah satu orang tua kita karena ia tega meninggalkan kita dan keluarga sekaligus tanpa tanggung jawab, maka sesungguhnya secara tanpa sadar kita sebenarnya begitu sangat merindukan (kehadirannya) karena rasa kehilangan kita yang tumbuh tanpa figur orang tua tersebut.
Dan demikian pula dalam dunia romansa (atau percintaan), meski belum ada penelitian secara ilmiah, namun fakta di lapangan sebagian besar pasangan bisa "terjadi atau berjodoh/bersatu" karena justru sesuatu yang paling dibenci. Berapa banyak dari kita yang begitu benci kepada seseorang atau bahkan sifat/karakter tertentu, biasanya akan mendapatkan jodoh yang minimal sifatnya sama dengan kebencian kita atau bahkan lebih horror adalah sampai penampilan fisiknya sama (berikut beberapa kejadian, buah hatinya sampai sama mulai dari sifat sampai tampilan fisik dan sifatnya sama banget dengan seseorang yang kebetulan kita tidak sukai (itu sebabnya dalam salah satu tradisi tua dikatakan bahwa "jangan benci siapapun pas hamil, nanti anaknya nurun loh, minimal sifatnya sama dan maksimal sampai mukanya sama dan kelakuannya sama, wuih ceyemnya, hihihi...:p).
Well, sekali lg meski belum ada penelitian resmi serta pembuktian empiris secara ilmiah namun melihat banyaknya kenyataan yang terjadi di lapangan, ada baiknya kita mulai "WASPADALAH-WASPADALAH", hihihi....:p
Karena yang sudah sangat baik saja belum tentu ada jaminan dapet berkah pasangan yang sama baiknya, ada baiknya beneran mempertajam keindahan hati kita masing-masing, sehingga bila sampai misalnya akhirnya kita dapat yg "kombinasi Pennywise dan Jigsaw" sekalipun kita masih tetap bisa damai dan bahagia karena kita dipercaya "alam semesta" mendidik calon orang baik baru karena kita dianggap sudah mampu melakukannya.
Sementara bila hati kita masih wattaw alakazam, maka nanti meski dapat level almost inhuman sekalipun, tetep gak bisa bahagia karena sibuk lihat kekurangannya, sementara bukan salah si pasangannya, melainkan cara kita yang memandang hidup hanya sebatas pikirannya yang memang keruh dan masih penuh limbah hingga sulit melihat kebaikan orang sekecil apapun.
Memilih pasangan memang soal selera pribadi, namun fleksibel tetap wajib wajib jadi perhatian utama
Betapa banyak dari para sahabat yang curhat bahwa waktu dulu belum apa-apa kemudian ditolak sama target impiannya masih merasa bahwa itu wajar, karena mungkin belum punya modal yang layak untuk menjadi menggantikan orang tuanya menjaga, namun mengapa setelah punya segalanya ternyata sang target masih gak mau juga. Bukan karena salah mata (dan juga hati) si target, melainkan karena setiap orang punya selera pribadi. Ada yang suka steak sementara yang lainnya doyan tempe. Apakah yang satu kemudian lebih baik dari yang lainnya?
Tentu saja tidak.
Sebab jangan pernah remehkan tempe karena selain gizinya mungkin lebih tinggi daripada steak, kadang harganya bisa saja lebih mahal saat harga kedelai justru sedang meningkat tajam melampaui daging. Lagipula kenyataan ilmiah juga medis mengatakan bahwa fancy belum tentu lebih sehat daripada yang sederhana, hihihi....:p
Jadi solusinya sederhana, untuk yang kebetulan punya standar targetnya ala steak, ada baiknya mulai fleksibel karena tempe pun juga sangat menyehatkan. Sementara yang kebetulan seleranya tempe, ada baiknya mulai membuka diri juga karena gak semuanya steak udah pasti kolesterol tinggi dan lemaknya sudah pasti merugikan kesehatan, hahahhahaha.....:D
Memilih pasangan memang murni selera pribadi, tapi fleksibilitas wajib diutamakan, karena terkadang alam semesta menganugerahkan jodoh kepada kita seringkali bukan sesuai keinginan kita, melainkan hanya sesuai dengan kebutuhan kita.
PENUTUP
Cinta adalah seni tentang kerjasama mengubah diri sendiri masing-masing dan bukan tentang mengubah orang lain (pasangan kita). Berhenti memaksa diri kita untuk mengubah pasangan kita meski mungkin niat kita baik dan tulus sekalipun demi kebaikan orang yang kita cinta itu, namun sadarilah, bahwa diri kita sendiri pun belum tentu mau diubah oleh pasangan kita juga meski caranya sudah sebaik apapun.
Kita hanya akan terpuruk dan juga kecewa bila kita sibuk berjuang mengubah dirinya. Kita baru bahagia bila kita sudah mampu mengubah diri kita jadi lebih baik. Berubahlah murni hanya untuk diri sendiri dan jangan pernah untuk orang lain, karena kita takkan pernah mampu menyenangkan semua orang karena standar setiap orang tentang kebaikan pasti akan selalu berbeda-beda.
Seperti disampaikan dalam pepatah Zen klasik,"Bila hati sudah surga, tinggal di neraka sekalipun bersama pasangan hidup yang bagaikan siluman sekalipun tetap akan damai dan bahagia. sementara bila hati masih bagai neraka, mau tinggal di surga tertinggi sekalipun dengan pasangan semalaikat apapun, maka akan tetap menderita. karena indahnya hidup murni hanya sebatas (mata) hati kita mau memandang bagaimana". Demikian pula dalam membangun relasi, fokus kepada membangun diri sendiri dan semoga tindakan nyata kita bisa bekerja indah melampaui ribuan bahkan jutaan nasehat. Dan bila sampai akhir nanti, si dia masih belum bisa berubah jadi baik juga, setidaknya kita sudah sukses jadi orang baik dan sekaligus sabar itu duluan, karena memang pada akhirnya bahagia ada di dalam sini dan bukan di luar sana.
Paradoks cinta adalah bahwa yang terlihat baik belum tentu memberikan kebahagiaan, sementara yang terlihat tak baik bisa saja memberikan pembelajaran kebijaksanaan. Semuanya berpulang kepada pelatihan kita di dalam sini. Semoga bermanfaat, semoga berbahagia.
Always with love
Wedy :D
Ini hanya logika yang sederhana bahkan amat sangat sederhana, bahwa yang kebetulan menarik secara visual saja belum tentu ada jaminan bisa menjadi magnet dalam menemukan partner hidup, bagaimana bila kebetulan tidak memiliki sisi ini (plus "disempurnakan" dengan karakter villain pula)?
Seriusan bahwa fakta di lapangan seringkali berjumpa yang punya bonus visual malah ramah dan rendah hati sementara yang kebetulan minus visual malah justru memilih untuk negatif dengan beragam alasan. Mulai dengan alasan "pride and self confidence" yang sayangnya seringkali kurang pada tempatnya (karena PD dan sombong memang beda sangat tipis), sampai merendahkan tampilan visual orang lain sementara lupa dan juga gak waspada bahwa dirinya tidak lebih baik. Hal yang mungkin akan berbeda bila kebetulan dilakukan oleh yang punya bonus tampilan visual, meski itu juga tidak pantas dilakukan juga, namun setidaknya ada sesuatu yang memang bisa disombongkan, sementara dari yang kebetulan tidak memiliki citra atau pesona visual, lalu apa yang mau ditonjolkan apalagi disombongkan. Dan ujungnya malah menambah penderitaan pribadi, karena publik yang gak nyaman dan akhirnya malah mensupport dengan doa yang makin enggak2x hingga akhirnya yang paling rugi ya kita sendiri.
Intinya, tampilan visual memang bukan menu utama karena suatu saat akan melapuk juga seiring usia, sebab serupawan apapun kita semuanya akan kehilangan keindahannya saat usia tua tiba. Namun bila yang baik saja sulit menemukan pasangan hidup kalau dalamnya tidak indah, apalagi yang sudah tidak baik secara visual, masih ditambah buruk hati pula.
Benci sama dengan Benar-Benar Cinta
Dalam banyak kasus psikologis, saat kita membenci sesuatu atau seseorang, sesungguhnya HAL ITU yang sesungguhnya paling kita rindukan. Contohnya: saat kita begitu membenci salah satu orang tua kita karena ia tega meninggalkan kita dan keluarga sekaligus tanpa tanggung jawab, maka sesungguhnya secara tanpa sadar kita sebenarnya begitu sangat merindukan (kehadirannya) karena rasa kehilangan kita yang tumbuh tanpa figur orang tua tersebut.
Dan demikian pula dalam dunia romansa (atau percintaan), meski belum ada penelitian secara ilmiah, namun fakta di lapangan sebagian besar pasangan bisa "terjadi atau berjodoh/bersatu" karena justru sesuatu yang paling dibenci. Berapa banyak dari kita yang begitu benci kepada seseorang atau bahkan sifat/karakter tertentu, biasanya akan mendapatkan jodoh yang minimal sifatnya sama dengan kebencian kita atau bahkan lebih horror adalah sampai penampilan fisiknya sama (berikut beberapa kejadian, buah hatinya sampai sama mulai dari sifat sampai tampilan fisik dan sifatnya sama banget dengan seseorang yang kebetulan kita tidak sukai (itu sebabnya dalam salah satu tradisi tua dikatakan bahwa "jangan benci siapapun pas hamil, nanti anaknya nurun loh, minimal sifatnya sama dan maksimal sampai mukanya sama dan kelakuannya sama, wuih ceyemnya, hihihi...:p).
Well, sekali lg meski belum ada penelitian resmi serta pembuktian empiris secara ilmiah namun melihat banyaknya kenyataan yang terjadi di lapangan, ada baiknya kita mulai "WASPADALAH-WASPADALAH", hihihi....:p
Karena yang sudah sangat baik saja belum tentu ada jaminan dapet berkah pasangan yang sama baiknya, ada baiknya beneran mempertajam keindahan hati kita masing-masing, sehingga bila sampai misalnya akhirnya kita dapat yg "kombinasi Pennywise dan Jigsaw" sekalipun kita masih tetap bisa damai dan bahagia karena kita dipercaya "alam semesta" mendidik calon orang baik baru karena kita dianggap sudah mampu melakukannya.
Sementara bila hati kita masih wattaw alakazam, maka nanti meski dapat level almost inhuman sekalipun, tetep gak bisa bahagia karena sibuk lihat kekurangannya, sementara bukan salah si pasangannya, melainkan cara kita yang memandang hidup hanya sebatas pikirannya yang memang keruh dan masih penuh limbah hingga sulit melihat kebaikan orang sekecil apapun.
Memilih pasangan memang soal selera pribadi, namun fleksibel tetap wajib wajib jadi perhatian utama
Betapa banyak dari para sahabat yang curhat bahwa waktu dulu belum apa-apa kemudian ditolak sama target impiannya masih merasa bahwa itu wajar, karena mungkin belum punya modal yang layak untuk menjadi menggantikan orang tuanya menjaga, namun mengapa setelah punya segalanya ternyata sang target masih gak mau juga. Bukan karena salah mata (dan juga hati) si target, melainkan karena setiap orang punya selera pribadi. Ada yang suka steak sementara yang lainnya doyan tempe. Apakah yang satu kemudian lebih baik dari yang lainnya?
Tentu saja tidak.
Sebab jangan pernah remehkan tempe karena selain gizinya mungkin lebih tinggi daripada steak, kadang harganya bisa saja lebih mahal saat harga kedelai justru sedang meningkat tajam melampaui daging. Lagipula kenyataan ilmiah juga medis mengatakan bahwa fancy belum tentu lebih sehat daripada yang sederhana, hihihi....:p
Jadi solusinya sederhana, untuk yang kebetulan punya standar targetnya ala steak, ada baiknya mulai fleksibel karena tempe pun juga sangat menyehatkan. Sementara yang kebetulan seleranya tempe, ada baiknya mulai membuka diri juga karena gak semuanya steak udah pasti kolesterol tinggi dan lemaknya sudah pasti merugikan kesehatan, hahahhahaha.....:D
Memilih pasangan memang murni selera pribadi, tapi fleksibilitas wajib diutamakan, karena terkadang alam semesta menganugerahkan jodoh kepada kita seringkali bukan sesuai keinginan kita, melainkan hanya sesuai dengan kebutuhan kita.
PENUTUP
Cinta adalah seni tentang kerjasama mengubah diri sendiri masing-masing dan bukan tentang mengubah orang lain (pasangan kita). Berhenti memaksa diri kita untuk mengubah pasangan kita meski mungkin niat kita baik dan tulus sekalipun demi kebaikan orang yang kita cinta itu, namun sadarilah, bahwa diri kita sendiri pun belum tentu mau diubah oleh pasangan kita juga meski caranya sudah sebaik apapun.
Kita hanya akan terpuruk dan juga kecewa bila kita sibuk berjuang mengubah dirinya. Kita baru bahagia bila kita sudah mampu mengubah diri kita jadi lebih baik. Berubahlah murni hanya untuk diri sendiri dan jangan pernah untuk orang lain, karena kita takkan pernah mampu menyenangkan semua orang karena standar setiap orang tentang kebaikan pasti akan selalu berbeda-beda.
Seperti disampaikan dalam pepatah Zen klasik,"Bila hati sudah surga, tinggal di neraka sekalipun bersama pasangan hidup yang bagaikan siluman sekalipun tetap akan damai dan bahagia. sementara bila hati masih bagai neraka, mau tinggal di surga tertinggi sekalipun dengan pasangan semalaikat apapun, maka akan tetap menderita. karena indahnya hidup murni hanya sebatas (mata) hati kita mau memandang bagaimana". Demikian pula dalam membangun relasi, fokus kepada membangun diri sendiri dan semoga tindakan nyata kita bisa bekerja indah melampaui ribuan bahkan jutaan nasehat. Dan bila sampai akhir nanti, si dia masih belum bisa berubah jadi baik juga, setidaknya kita sudah sukses jadi orang baik dan sekaligus sabar itu duluan, karena memang pada akhirnya bahagia ada di dalam sini dan bukan di luar sana.
Paradoks cinta adalah bahwa yang terlihat baik belum tentu memberikan kebahagiaan, sementara yang terlihat tak baik bisa saja memberikan pembelajaran kebijaksanaan. Semuanya berpulang kepada pelatihan kita di dalam sini. Semoga bermanfaat, semoga berbahagia.
Always with love
Wedy :D
Komentar
Posting Komentar