Siapa sih yang gak mau terkenal? Begitu banyak orang rela mengorbankan dirinya (bahkan terkadang sampai ke hal yang ekstrim sekalipun), hanya untuk menjadi terkenal. Saya pun pernah menjalani masa2x itu saat dulu bolak-bailk audisi baik untuk acara TV maupun iklan. Saya tidur di halaman studio TV-nya, hanya untuk mendapatkan formulir audisinya (saat itu bersama sahabat saya, Erick), dan hari ini saya baru merasakan kelegaan karena gak masuk (dulu mah kecewa berat pas gak lolos karena waktu itu memang lg mupeng.com, hehehe...).
Setiap pilihan pasti memiliki resiko dan konsekwensinya masing-masing, dan itu termasuk dalam MENJADI TERKENAL. Saat terkenal, hidup kita gak bakal SENDIRI lagi. Kita akan diikutin fanz, kamera dan juga paparazzi, hehehe... Bahkan ekstrimnya, mungkin sampai kita buang angin sekalipun, itu akan bisa jadi berita, hahaha... Tapi mengapa meski sudah tahu tentang “penderitaan” menjadi terkenal itu, masih banyak orang slalu terus memburunya? Jawabannya sederhana, yaitu EKSISTENSI, yang sayangnya hal ini sering kurang diimbangi untuk melakukan hal yang sama bagi orang lain, karena secara alamiah, MANUSIA MEMANG LEBIH SERING MINTA DIMENGERTI ORANG LAIN KETIMBANG BERUSAHA UNTUK SLALU BELAJAR MEMAHAMI ORANG LAIN.
Virus popularitas ini bukan hanya melanda dunia seni, tapi juga sampai ke ranah bisnis, pendidikan bahkan hingga ranah spiritual (kalo yang terakhir ini agak wkwkwk... hahaha...). Berapa banyak pembicara yg sibuk EKSIS, hingga menambahkan status2x yang unik di belakang nama mereka (yang kadang2x istilah yang dipake sering lebih terasa menggelikan ketimbang mengesankan, hehehe...). Kalo para pembicara publik masih melakukan hal semacam itu mungkin masih terasa wajar, karena mereka masih terikat pada DUNIAWI, lha gimana kalo para rohaniwannya (yang mestinya bisa jadi pemandu jalan bagi para umat) malah ikutan ber-eksis.com ria, wah udah kacau deh kehidupan, lha wong “gurunya” malah gak beda ama “muridnya”, hahaha...
Saya sendiri sering dibecandain temen2x saya sebagai “motivator”, tapi saya sering komen balik bahwa “motivator udah terlalu banyak di dunia, bahkan nyaris udah over-stock sehingga value-nya udah gak se-eksklusif dulu, daripada harus bersaing ama mereka, mendingan saya masuk bidang lain yg nyaris tersentuh yaitu ‘PROVOKATOR’, hahaha...” Saya yakin “bidang” ini jarang atau gak bakal ada yang mau, karena imagenya yang kurang positif, hehehe... tapi kalo kita bisa jadi provokator di bidang kebajikan ya why not juga toh, hehehe...;p
Yang pasti saya sebenernya gak pernah mau dianggep seperti itu, karena saya kebetulan termasuk salah satu orang yg yakin bahwa “Motivator Sesungguhnya Dalam Kehidupan adalah DIRI KITA MASING-MASING”. Logikanya adalah, meskipun kita diberi suntikan semangat oleh seorang motivator kaliber dunia sekalipun, namun KEPUTUSAN UNTUK MENJALANKANNYA ATAU TIDAK ADALAH MUTLAK BERADA DI TANGAN KITA SENDIRI
Saya merasa apa yang saya lakukan selama ini, tidaklah berarti apa-apa bila dibandingkan PERJUANGAN MEREKA UNTUK MELAKUKAN PERUBAHAN BAGI HIDUP MEREKA SENDIRI, karena terkadang saya selalu menemukan fakta bahwa, “KITA MUNGKIN SAJA MAMPU HEBAT DALAM BERBICARA NAMUN BELUM TENTU MAMPU HEBAT DALAM BERTINDAK SEPERTI ORANG YANG MENDENGARKAN SHARING KITA, KARENA BERBICARA EMANG SELALU LEBIH MUDAH DARIPADA ACTIONNYA KHAN, hehehe...”
Jadi setelah mengetahui FAKTA ini, lalu mengapa kita masih sibuk mengklaim diri sebagai motivator (bahkan sampai menambahkan istilah2x atau status2x unik di belakang nama kita), padahal KITA SAMA-SAMA UDAH TAHU BAHWA MOTIVATOR SESUNGGUHNYA ADALAH DIRI MEREKA MASING2X, KARENA PENENTU KEPUTUSAN AKHIR UNTUK MELAKSANAKAN ATAU TIDAK MUTLAK BERADA DI TANGAN MEREKA”.
Saya sendiri lebih nyaman dianggap sebagai seorang SAHABAT, karena dengan saya dianggap sahabat, maka itu juga akan lebih mempermudah pelatihan dan pengembangan diri saya, karena kesebandingan posisi mereka dengan saya (dan bukan seperti posisi “artis” dan “fanznya”, hehehe...), sehingga saya juga lebih mudah memperoleh masukan dalam bentuk saran dan juga kritik, demi sebesar-besarnya kebaikan hidup saya juga.
Menjadi seniman pun adalah untuk menghasilkan karya2x yg bermanfaat bagi masyarakat, dan bukannya sibuk mencari popularitas dengan membuat banyak sensasi ketimbang prestasi. Menjadi pembicara publik pun adalah murni untuk menginspirasi para pendengarnya dengan pengetahuan2x yang baik agar hidup audiens mereka dapat menjadi slalu positif, dan bukannya sibuk eksis dengan cara menambahkan status2x aneh yang sebenarnya justru membuat mereka lebih layak patut dikasihani dari para pendengarnya, karena bagaimana sikap mereka dapat dijadikan teladan bila mereka sendiri ternyata masih mengharapkan atau bahkan “mengemis” akan adanya sebuah PENGAKUAN.
Demikianlah pula bagi mereka yang kebetulan sudah bertekad untuk menyusuri jalan spiritual, alangkah indahnya bila mereka mampu menjadi GURU DALAM ARTI YANG SESUNGGUHNYA, MELALUI TELADAN HIDUP MEREKA, DAN BUKAN KARENA POPULARITAS MEREKA. Karena pada akhirnya, BUKAN POPULARITAS YANG KELAK AKAN KITA BAWA MATI TAPI SEGALA KEBAJIKAN DAN JUGA PAHALA2X YANG TELAH KITA TANAM DI SEPANJANG HIDUP KITA (BEING GOOD WITHOUT BEING FAME).
Semoga share sederhana ini masih bisa bermanfaat bagi anda semua, khususnya sebagai reminder bagi diri saya pribadi. Selamat berbuat kebajikan dan semoa makhluk selalu hidup berbahagia adanya, jia you & bless u always _/\_
Penuh cinta
Wedy
Komentar
Posting Komentar